Staisyaichona.ac.id – Dalam rangka memperingati hari perempuan sedunia, Program Studi Hukum Pidana Islam (Prodi HPI) STAI Syaichona Moh. Cholil Bangkalan menyelenggarakan Seminar Nasional dengan Tema “Kekerasan Seksual Dalam Perspektif Hukum di Indonesia”.
Seminar bertempat di Aula STAI Syaichona Moh. Cholil Bangkalan pada Selasa (8/3/22). Acara ini dipandu oleh Riska Kamilia Ulfa yang juga sebagai mahasiswa Prodi HPI, dengan tiga narasumber yaitu Dr. Lia Istifhama, M.E.I. (Aktivis Perempuan), Diah Ratri Oktavriana, S.H., M.H. (Sekretaris Prodi Hukum Pidana Islam), dan Nurul Hidayat, S.H., M.H (Ketua LBH Jaman Jatim).
Seminar ini dilaksanakan sebagai bentuk pengingat kepada kita semua, bahwa kejahatan masih terus berlangsung di negeri ini khususnya mengenai pelecehan seksual terhadap perempuan. Pun sebagai penanda bahwa hukum Indonesia masih belum mampu menjawab permasalahan yang terjadi terkait kekerasan seksual terhadap perempuan.
“Ketika berbicara kekerasan seksual. Berdasarkan riset yang pernah saya lakukan, bahwa perempuan penyintas atau korban kekerasan seksual lebih cepat memiliki resiliensi atau bangkit dari trauma daripada korban berjenis kelamin laki laki. Dari semua subjek yang saya teliti, agama menjadi sumber utama proses resiliensi. Diantaranya ayat suci Alquran, Al-Insyirah ayat 5 yang menyebutkan bahwa ‘Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan’,” terang ning Lia yang juga Sekretaris MUI Jatim tersebut.
Dalam kesempatan itu, ia juga menekankan pentingnya hukuman yang bisa memberikan efek jera bagi pelaku.
“Kita juga berbicara mengenai hukuman atau sanksi pidana bagi pelaku kejahatan seksual. Apakah hukum yang ada saat ini sudah memberikan efek jera? Penting dicermati beberapa perundang-undangan yang dapat dikenakan pada pelaku kejahatan tersebut, diantaranya KUHP tentang pencabulan dan pemerkosaan, UU no 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No 26 tahun 2000 tentang HAM.”
“Mencermati sanksi yang dikenakan pada pelaku kejahatan seksual, bahwa yang perlu kita cermati adalah dampak kerugian pada korban. Dalam hal ini, korban kejahatan seksual tidak hanya mengalami luka fisik, tapi juga psikis yaitu traumatis yang berpotensi menghilangkan masa depan, atau setidaknya merubah kehidupan pribadi korban. Bahkan, juga sebagai kerugian yang dialami keluarga, teman maupun orang orang di dekatnya.”
Ning Lia pun menegaskan pentingnya metode abilisionistik, yaitu menekan potensi kejahatan dari sumber-nya. Hal ini disebutnya dapat ditempuh melalui peran masyarakat untuk menanggulangi bahaya pornografi di era digitalisasi. Senada dengannya, Diah Ratri menekankan pentingnya efek jera bagi pelaku kejahatan seksual.
“Indonesia sedang mengalami darurat kekerasan seksual terhadap perempuan, sebab hampir setiap pekan terjadi kekerasan seksual pada perempuan. Bahkan pelakunya bukan hanya masyarakat biasa, melainkan orang yang disegani oleh masyarakat sekitarnya. Karena itu, hukuman yang memberikan efek jera sangat penting, diantaranya pelaksanaan termasuk memberitahukan identitas pelaku kepada publik sebagai pemberian sanksi sosial dan hukuman kebiri sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2020. Walaupun sampai saat ini, masih menjadi perdebatan, karena dianggap kode etik kedokteran.” Selain itu disampaikan pula, “bahwa terhentinya pelaksanaan hukuman kebiri kimia disebabkan oleh tak dimasukkannya unsur prinsip dokter dalam rancangan peraturan tersebut.” Secara etik, dokter sebagai profesi disebut tak mau menjadi eksekutor sebagaimana yang telah diatur di dalam PP tersebut. Sikap etis seorang dokter harus berdasarkan pada azas beneficience dan non-maleficence, yang artinya senantiasa berbuat baik untuk kesehatan manusia. Sedangkan pemberian injeksi zat tertentu pada hukuman kebiri kimia bersifat merusak.” Terangnya.
Selain itu ditambahkan oleh Diah Ratri, bahwa ia mendesak disahkannya RUU TPKS. Lebih lanjut dikatakan bahwa “beberapa jenis tindak kekerasan terhadap perempuan yang sebenarnya berbeda, tetapi disamaratakan oleh hukum yang ada.” Contohnya adalah Perkosaan. Perkosaan itu tidak hanya penetrasi alat kelamin laki-laki ke alat kelamin perempuan.” Tapi bisa juga dalam bentuk pemaksaan menggunakan misalnya anal, oral atau menggunakan alat lain ke vagina. Dalam hukum positif pengaturan mengenai anal, oral, dll masuknya pada pencabulan. Dampaknya yang paling terasa adalah pada pemberian hukuman yang tidak sebanding.”
Sedangkan Nurul Hidayat menekankan kesulitan menjerat pelaku karena berbenturan dengan definisi dari pelecehan seksual.
“Untuk menjerat pelaku, maka kasus kejahatan tersebut harus sesuai dengan Pasal 11 ayat (2) huruf a, yaitu bahwa Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk tindakan fisik atau non-fisik kepada orang lain, yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait hasrat seksual, sehingga mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan”
Pelaksanaan kali ini dihadiri oleh Ketua Lembaga Kerja Sama dan Humas Dr. KH. Nasiri, MH., Ketua Prodi Hukum Pidana Islam Ahmad Muzawwir, M.Th.I. Selain itu hadir pula Presiden Mahasiswa Yanto Yuliadi, Ketua Dewan Pimpinan Mahasiswa Imam Buchori, Gubernur Prodi HPI Alvini’am, dan Ketua Panitia Abdurrahman.
Sebagai penutup seminar nasional, Riska sebagai moderator memberikan kesimpulan “bahwa kekerasan seksual tidak hanya terjadi pada perempuan tetapi juga bisa terjadi pada laki-laki, baik dewasa maupun anak-anak. Selain itu yang perlu menjadi perhatian, bahwa akar permasalahan dari terjadinya kekerasan seksual ini adalah rendahnya moral seseorang sebagai penyebab muncul pikiran negatif sehingga memiliki niat untuk melakukan hal-hal yang tidak sepatutnya.”
By: Prodi HPI STAIS Bangkalan