staisyaichona.ac.id – Dimensi public figure yang tampil di media sering diartikan dengan kehidupan glamour penuh romansa hiruk-pikuk dunia ke-artisan yang mendominasi hampir di seluruh media hingga di beberapa Reality Show pasti sering melihat dan menjumpai beberapa kalangan selebritis mulai dari senior hingga junior, pendatang baru sampai yang paling seru.
Eksistensi kaum selebritis dituntut untuk terus mengikuti perkembangan zaman, melakukan inovasi performance, mengadakan kegiatan On-Air dan Off-Air hingga yang tak kalah penting adalah tampil beda untuk terus mendapatkan apresisasi dari penggemar. Persaingan lintas selebritis memang tak akan berhenti karena setiap publik figur akan terus bermunculan dalam skala besar ini disebabkan oleh industri hiburan dunia yang terus berkembang secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir.
Secara informal industri hiburan disebut Show Buisness atau Show Biz terdiri dari sejumlah besar sub-industri yang ditujukan khusus pada hiburan. Tetapi, sebutan ini sering digunakan di media massa untuk menjelaskan perusahaan media massa yang mengontrol distribusi dan pembuatan hiburan di media massa. Dalam pengetahuan awam, sebutan Show Biz memiliki konotasi terhadap pentas seni populer, khususnya teater, musikal, vaudeville (adalah sauatu jenis pertunjukan pusparagam, akrobatik, sulap, sulap matematika, opera yang berkembang di Amerika Utara antara 1880an dan 1920an), komedi, film dan musik.
Pelaku yang terlibat dalam industri hiburan ini sering disebut publik figur, aktor, aktris, artis, dan selebritis. Padahal secara terminologi beberapa istilah tersebut terdapat perbedaan. Artis adalah secara umum adalah pegiat seni baik terkenal atau tidak. Aktris adalah pegiat seni peran untuk wanita, dan sebutan aktor untuk pria sedangkan Public Figure memiliki arti sosok atau tokoh yang dikenal secara luas oleh masyarakat sederhana adalah tidak semua artis atau aktris maupun aktor bisa menjadi publik figur namun publik figur bisa menjadi beberapa istilah tersebut, tetapi pada praktiknya masyarakat Indonesia sering mengistilahkannya sebagai artis. Sedangkan Istilah selebritis adalah orang yang yang terkenal lantaran atau terlalu dekat dekat dunia pemberitaan.
Sementara istilah hiburan ialah setiap kegiatan yang menyediakan pengalihan atau memungkinkan orang untuk menghibur diri, meluangkan waktu serta membuat tawa atau canda yang dikemas dalam bentuk musik, film, atau sejenisnya.
Sejak berdirinya Hollywood tahun 1923 di Amerika Serikat sebagai Trand Centre dunia perfilman seluruh dunia berlomba-lomba untuk melahirkan para Artis hingga Selebritis tak terkecuali Musisi yang dalam hal ini telah menghasilan berbagai Genre sebut saja seperti Elvis Presley, Madonna, Michael Jackson, Marilyn Monroe dan lainnya, sehingga dala perjalanannya banyak musisi yang kemudian menjadi aktris dan aktor sekaligus begitu juga sebaliknya.
Seperti halnya negara lainnya Indonesia juga mempunyai Industri hiburan dan telah menghasilkan beberapa Pentolan para kaum idola seperti Titiek Puspa, Iwan Fals, Rhoma Irama, Koes bersaudara, Gombloh, Nike Ardila, Nazril Irham hingga Warkop DKI.
Adanya kaum selebritis tentu tak lepas dari daya konsumtif masyarakat yang tak jarang menjadi Fans setia dan mengikuti pemberitaan dari setiap idolnya, tentu hal ini tidak keliru karena pada dasarnya tujuan utama hiburan adalah tidak semata-mata menghibur tetapi juga memberikan pesan moral melalui setiap lakon atau syair yang mereka bawa, namun perlu adanya filterisasi dalam menyaring setiap tontonan agar bisa menjadi tuntunan dan ini memang menjadi sebuah harapan.
Untuk menjadi seorang artis acata musisi secara administratif tidak memerlukan dokumen formal seperti ijasah atau piagam formal lainnya namun belakangan banyak stasiun TV melalukan ajang pencarian bakat untuk mencari bibit-bibit penerus dari berbagai pelaku industri hiburan.
Dalam mengidolakan seorang artis tentu tidak boleh terlalu berlebihan sehingga terkesan agak lebay dalam mencitrakan atau bahkan fanatisme, hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan Distorsi pengidolaan yang berakibat menimbulkan ujaran kebencian yang bisa merusak citra industri hiburan di tanah air.
Dalam kurun waktu antara 2000an awal hingga 2021 Industri hiburan di tanah air telah banyak mengalami perubahan baik dalam segi perfilman, musik, teater, opera, hingga format Commercial Break atau iklan. Namun yang perlu digaris bawahi adalah di rentang waktu tersebut industri hiburan kita pernah memiliki catatan potret hitam seperti perbuatan asusila oleh salah satu Vocalist band ternama, beredarnya video panas, perceraian, hingga yang terbaru adalah kasus salah satu Vocalist Groub Band Gambus ternama yang diisukan tengah menjalin hubungan terlarang dengan lelaki yang bukan haknya.
Reaksi masyarakat terutama para Netizen menyambut negatif pemberitaan ini apalagi bagi para Fans setia, kejadian ini bagi para Haters merupakan kesempatan besar untuk mengkritisi atau menghujat dalam bentuk simbol-simbol kebencian dan ini akan membuat masyarakat lebih cenderung melihat kesalahannya dan tidak peduli dengan karya atau motivasi yang telah dihasilkan namun bagi Fans setia mungkin akan tetap memberikan support. Jatuhnya orang baik adalah kesempatan bagi orang jahat untuk membenarkan kejahatannya. Kita kecewa pada moral karena simbol-simbol moral mudah tersandung padahal kita sendirilah yang memberi citra layaknya dewa.
Kecenderungan untuk membenci kaum selebritis seharusnya tidak membuat kita gampang menghakimi secara membabi buta, apakah inspirasi berharga harus kita buang hanya karena yang membawanya melakukan kesalahan ? apakah karya yang menginspirasi dan mendidik harus kita tinggalkan hanya karena yang membawakannya tersandung kasus? kita suka menghujat orang yang jatuh. Pernahkah kita berpikir bahwa suatu saat nanti kita pun bisa saja jatuh?
Menjadi bermoral tentu merupakan sebuah keharusan namun bermoral juga butuh prinsip karena kita hidup berdampingan dengan hiburan yang pada dasarnya adalah merupakan simbol dari kehidupan dalam konteks berperadaban, kita sering mendengar alibi yang mengatakan “Lebih baik nakal namun jujur ketimbang baik namun munafik.” Alibi tersebut tidak seharusnya kita terapkan dalam kehidupan atau disimbolkan kepada para pelaku dunia hiburan karena hanya akan menambah keresahan dan ini sejatinya hanyalah pembelaan orang jahat yang sedang mencari kata-kata bijak untuk tidak di cap melanggar norma.
Dalam konteks pelaku dunia hiburan perlu adanya Public Trust (Kepercayaan Publik) dimana seorang selebritis sejatinya merupakan delegasi dari sebuah tindakan kolektif sebagai modal untuk menopang sistem sosial dalam tatanan bermasyarakat dari pemaknaan ini simbol-simbol moral dari sebuah hiburan diharapkan bisa menciptakan sumber-sumber kehidupan (sources of live lihoods) dengan lebih baik sehingga hiburan dan masyarakat bisa memberikan harmoni sosial yang bebas konflik, hiburan bukan hanya tentang kesenangan namun tentang tanggung jawab dan moral.
Oleh: Amir Hamzah (Dosen STAIS Bangkalan)