Sosial Distancing, Bukan Spiritual Distancing

Komedian Amerika Serikat Charlie Chaplin pernah berkata ”A day without laugh is a day wasted” satu hari tanpa tertawa adalah hari yang sia-sia. Ungkapan tersebut kiranya memberikan refleksi dalam menjalani kehidupan sosial yang kompleks untuk selalu memberikan sinyal positif bagi keberlangsungan hubungan Interpersonal, namun kata-kata tersebut tidak bisa menjadi sinyal positif dalam hari-hari penuh ketakutan bahkan menjadi hari-hari serba ketakutan akibat dampak dari Social Distancing dalam rangka mengurangi penyebaran Corona Virus Desease 2019 (Covid-19).

Dalam tiga bulan terakhir dunia digemparkan dengan pandemi Covid-19. Sebuah virus yang  diidentifikasi sebagai penyebab penyakit pada saluran pernapasan, yang pertama kali terdeteksi muncul di Kota Wuhan, Tiongkok. Virus ini diketahui pertama kali muncul di pasar hewan dan makanan laut di Kota Wuhan. Dilaporkan kemudian bahwa banyak pasien yang menderita virus ini dan ternyata terkait dengan pasar hewan dan makanan laut tersebut. Orang pertama yang jatuh sakit akibat virus ini juga diketahui merupakan para pedagang di pasar tersebut, diketaui virus ini dapat menular sangat cepat dan sangat mematikan, oleh karenanya banyak masyarakat ketakutan bahkan panik.

Untuk mengendalikan penyebaran virus akut harus dilakukan dengan segera dan tanggap diaman saat ini dunia sedang  benar-benar dalam status WARNING, beberapa negara berupaya untuk memerangi penyebaran virus mematikan ini salah satunya adalah dengan memberlakukan Lock Down dan Social Distancing seperti yang diberlakukan di Italia, Malaysia, Inggris, China dan beberapa negara zona merah Covid-19 mulai dari sepuluh hari hingga satu bulan. Lock Down dapat berarti penutupan akses dari dalam maupun luar. Lock Down menjadi sebuah protokol darurat dan biasanya hanya dapat ditetapkan oleh otoritas pemerintah. Kata ini juga bisa digunakan dalam arti melindungi orang di dalam fasilitas. Dalam kasus virus corona, negara yang terinfeksi virus corona mengunci akses masuk dan keluar untuk mencegah penyebaran virus corona yang lebih luas.

Lock Down juga biasanya akan diikuti dengan larangan mengadakan pertemuan yang melibatkan banyak orang, penutupan sekolah dan universitas, hingga tempat-tempat umum. Usaha ini dilakukan untuk menekan risiko penularan virus corona pada masyarakat di luar wilayah Lock Down. Lock Down ini bersifat temporer dan bisa dicabut sewaktu-waktu, manakala kondisi dianggap sudah membaik.

Adapun Social Distancing atau menjaga jarak dan membatasi aktivitas sosial adalah serangkaian tindakan pengendalian infeksi nonfarmasi yang dimaksudkan untuk menghentikan atau memperlambat penyebaran penyakit menular. Tujuan dari pembatasan sosial adalah untuk mengurangi kemungkinan kontak antara orang terinfeksi dan orang lain yang tidak terinfeksi, sehingga dapat meminimalisir penularan penyakit, morbiditas, dan terutama, kematian.

Kabar terbaru adalah World Health Organization (WHO) mengubah istilah Social Distancing menjadi Physical Distancing atau jarak fisik adalah semata-mata untuk mencegah penularan dalam jumlah yang semakin banyak, sehingga dampak dari istilah-istilah tersebut juga banyak merugikan beberapa pihak antara lain event-event besar berskala Internasional seperti MotoGp harus dijadwal ulang bahakan ada beberapa race yang membatalkan langsung, EURO 2020 ditunda hingga 2021, Olimpiade Jepang 2020 juga ditunda hingga 2021 dan yang paling sakral adalah pemberhentian sementara atau moratorium pelaksanaan ibadah Umroh serta pelaksanaan ibadah Haji 2020 dikabarkan di beberapa media juga terancam terganggu pelaksanaannya dan yang terbaru adalah pemebritaan dimana ada larangan melangsungkan pesta pernikahan selama waspada pandemi covid-19.

Dalam hal Physical Distancing pemerintah tidak main-main ini terbukti dengan menggelar Patroli langsung untuk melarang warga keluyuran hingga Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) tahun 2020 resmi ditiadakan guna mempersempit penularan terlebih makin hari jumlah penduduk Indonesia positif Corona terus bertambah, daerah-daerah zona merah juga bertambah sehingga menjadi sangat bijak manakala pemerintah memberlakukan pembatasan-pembatasan siaga satu.

Bukan Spiritual Distancing

Ditengah berlangsungnya pemerintah dalam memberlakukan Sosial Distancing yang kini berubah menjadi Physical Distancing ada point yang harus dilihat dari perspektif kemanusiaan (Humanism Perspective). Dalam fitrahnhya manusia adalah mahluk sosial yang di desain untuk berinteraksi sosial, memiliki kepekaan sosial, peduli sosial serta berkeadilan sosial.

Kewaspadaan dan patuh terhadap pemerintah memang sebuah kewajiban bagi seluruh element masyarakat tanpa terkecuali, namun jangan melupakan kodrati manusia yang harus memiliki keseimbangan antara membatasi sosial dan kewajiban sosial serta kebutuhan spiritual, kendati banyak yang dirugikan akibat pandemi covid-19 tetap jangan melupakan etos kerja dan etos berkehidupan sosial, pemimpin harus terus mengayomi rakyatnya tanpa mengurangi hak rakyat, para medis harus terus membantu dan mengedukasi masyarakat untuk hidup sehat, para pendidik walaupun memberikan materi lintas maya tentunya jangan menghilangkan Sense of Bilonging antara guru dan murid, pun demikian para pekerja non-formal seperti pedagang kaki lima, ojek online serta para pedagang lainnya harus tetap berjibaku bersama melawan wabah ini tanpa mengurangi etos kerja serta hubungan dengan sang pencipta dalam rangka mengambil hikmah tiap fenomena.

Dampak kerugian sosial antara mahluk boleh jadi akibat wabah namun kerugian yang terburuk adalah kerugian kemunduran spiritual dimana masyarakat terlalu takut untuk suatu fenomena melebihi kepada Sang Pencipta, lantas melupakan akal sehat tentu ini bukan sebuah harapan dari Social Distancing sehingga yang terburuk adalah melahirkan Spritual Distancing.

Dalam rangka melindungi ummat Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa mengenai larangan Sholat Jum’at dan Sholat berjamaah di Masjid untuk menghindari kerumunan dan diganti Sholat Dzuhur dirumah masing-masing. Keadaan ini jangan menjadikan sebagai ajang bersantai ria lalu kemudian mengadakan Vacation sehingga jauh dari tujuan, tentu sangat disayangkan apabila pergi ke masjid dilarang tetapi malah bertamasya. Fenomena ini seharusnya tidak terjadi, justru dengan diberlakukan pembatasan untuk beribadahbisadijadikanSelf Reminder untuk meningkatkan spiritualitas dan Muhasabatun Nafsi (Introspeksi Diri) menjadi lebih banyak karena pada hakikatnya manusia membutuhkan spiritualitas untuk menjalani kodratinya sebagai hamba bukan menjadi obyek dari ketidakseimbangan tatanan sistem kehidupan.

Sebagai ummat berperadaban dan beragama sudah barang pasti memiliki spiritual equipment dalam keyakinan masing-masing. Dalam Islam dikenal Khouf dan Roj’ (kekhawatiran dan harapan) khawatir terhadap sesuatu sehingga melampaui batas kewajaran sangat tidak dianjurkan karena selalu ada hope atau harapan disetiap kekhawatiran dan disinilah peran nyata spiritualitas dalam bersosial.

Oleh: Amir Hamzah (Pendidik dan alumni Pondok Pesantren Assirojiyyah, Dosen STAI Syaichona Moh. Cholil Bangkalan)

Nb: Artikel ini juga terbit di Radar Madura, 1 April 2020.

Pos terkait